Berkaitan dengan banyaknya kasus bunuh diri di kalangan pelajar, Praktisi Pendidikan dari Forum Tabayyun Kiai Abu Inas ungkap tiga kelemahan sistem pendidikan nasional di Indonesia.
"Pertama, dari sisi akidah (keimanan). Mayoritas pelajar kita yang notabene muslim tidak mendapatkan penguatan akidah yang seharusnya," ujarnya dalam Kabar Petang: Potret Buram Pendidikan Nasional, di kanal YouTube Khilafah News, Sabtu (30/11/2024).
Menurutnya, penguatan akidahnya hanya ala kadarnya. Itulah yang bisa dijumpai dalam praktik penerapan kurikulum sistem pendidikan nasional yang ada.
"Bahkan, alih-alih memperkuat akidah para pelajar, yang terjadi justru pendangkalan akidah, sehingga pemahaman pelajar tentang kehidupan yang seharusnya hidup ini adalah untuk pengabdian kepada Dzat Yang Maha Kuasa (Allah Swt.) justru berbelok menjadi pemuja hedonisme atau pemuja kehidupan dunia," ungkapnya.
Sehingga sambungnya, ketika keinginan duniawi yang diharapkan dalam kehidupannya tidak terwujud, maka akhirnya menimbulkan depresi dan macam-macam persoalan kesehatan mental.
"Dengan kata lain, sistem pendidikan yang ada tidak mempersiapkan anak-anak Indonesia secara mental menjadi tahan banting manakala ada keinginan-keinginan atau kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi," jelasnya
Kedua, dari sisi kurikulum mengenai konsep perbedaan antara keinginan dan kebutuhan, para pelajar hari ini, tegas Kiai Abu Inas, tidak dididik atau dipersiapkan untuk memahami hal itu dengan benar.
"Nah, banyak pelajar kita itu yang tidak dipahamkan dengan benar perbedaan antara keinginan dengan kebutuhan," ucapnya.
Padahal, ia menjelaskan, kebutuhan hidup itu ada batasnya, manakala kebutuhan hidup sudah dipenuhi maka akan terjadi ketenangan jiwa, sedangkan keinginan-keinginan tidak ada batasnya.
Sehingga, terang Kiai Abu Inas, ketika mereka memandang keinginannya adalah kebutuhan dan merasa tidak terpenuhi, apalagi orientasi keinginannya itu adalah orientasi yang sifatnya duniawi atau memuja hedonisme, maka yang terjadi adalah persepsinya merasa hal itu adalah sebuah kegagalan dalam hidupnya.
"Dan ini banyak terjadi dalam hal-hal yang jauh lebih remeh-temeh dalam kehidupan sehari-hari," sesalnya.
Ia pun menyimpulkan, para pelajar saat ini tidak dipersiapkan dengan sungguh-sungguh untuk menghadapi kerasnya ujian kehidupan dunia.
"Sehingga menjadikan mereka sebagai generasi stroberi yang jiwanya lembek," tandasnya
Ketiga, ia juga menambahkan, yaitu konten kurikulumnya yang terlalu luas cakupannya dan terlalu membebani para pelajar, sehingga banyak pelajar yang merasakan tingkat kejenuhan.
"Dikit-dikit PR (tugas pekerjaan rumah), dikit-dikit pelajaran ini-itu. Target materi ini belum selesai, sudah tertuntut dengan target yang berikutnya," herannya memungkasi.
Diketahui, kasus bunuh diri di Indonesia setiap tahun terus mengalami peningkatan. Komunitas pencegahan bunuh diri, Into The Light Indonesia mencatat sepanjang 2024 saja sudah dilaporkan 826 kasus bunuh diri. Jumlah kasus yang tercatat bahkan diyakini jauh lebih sedikit dibandingkan total insiden sebenarnya di masyarakat.
"Setahun ini dari data yang kita temui itu 826 kasus bunuh diri. Tapi ingat kasus bunuh diri itu seperti fenomena gunung es, apa yang terlihat lebih sedikit dari kenyataannya," kata Konselor Satgas Pencegahan Primer Into The Light, Rizky Iskandar Sopian, SPsi, saat ditemui di kawasan Kota Tua, Taman Sari, Jakarta Barat, Kamis (14/11/2024).
Kasus bunuh diri pada masyarakat Indonesia disebutnya banyak terjadi pada usia pelajar.
"Dari tahun ke tahun itu ada peningkatan. Apalagi dalam satu bulan ini ada 3-4 kasus bunuh diri dan didominasi oleh anak-anak muda di bawah 15 tahun. Dari anak SMP ada pikiran bunuh diri karena beban akademik kita sendiri kan sekarang sangat tinggi apalagi isu bullying," kata Rizky [] Muhar
0 Komentar